Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menghadapi Badai PHK: Panduan Lengkap Alur, Hak, dan Strategi Negosiasi Sesuai PP 35/2021

Tidak ada kurikulum sekolah yang mengajarkan kita cara menghadapi momen ini: Jumat sore yang mendung, panggilan mendadak ke ruangan HRD, dan sebuah amplop tertutup di atas meja. Isinya singkat, bahasanya baku, namun dampaknya mampu meruntuhkan dunia yang sudah kita bangun bertahun-tahun: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Seketika, bayangan cicilan rumah, biaya sekolah anak, dan asap dapur yang harus tetap mengepul menari-nari di pelupuk mata. Rasa marah, kecewa, dan takut bercampur menjadi satu. Wajar jika Kawan merasa demikian. Kehilangan pekerjaan bukan sekadar kehilangan gaji, tapi seringkali terasa seperti kehilangan sebagian harga diri.

Namun, dengarkan ini baik-baik: PHK bukanlah kiamat, dan surat pemberitahuan itu bukanlah titah raja yang mutlak.

Banyak kawan pekerja yang terjebak karena ketidaktahuan. Mereka pasrah saat diminta "tidak usah masuk besok", atau buru-buru menandatangani surat pengunduran diri karena panik. Itu adalah kesalahan fatal. Negara, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021, telah mengatur tata cara yang ketat. Ada "ritual" hukum yang wajib dilewati oleh perusahaan. Jika satu langkah saja dilanggar, maka PHK tersebut bisa dianggap cacat prosedur.

Artikel ini bukan sekadar bacaan, ini adalah peta jalan bagi Kawan yang sedang tersesat di hutan belantara ketenagakerjaan. Mari kita bedah aturannya, agar kita bisa pulang dengan kepala tegak dan hak yang utuh.

Daftar Isi Artikel

Prinsip Dasar: PHK Adalah Jalan Paling Akhir

Sebelum masuk ke teknis perlawanan, Kawan perlu memahami filosofi hukumnya. Dalam Pasal 37 ayat (1) PP 35/2021, tertulis jelas sebuah mandat yang sering diabaikan pengusaha:

Kalimat ini bermakna dalam. PHK adalah opsi pamungkas (ultimum remedium). Sebelum memecat, perusahaan wajib melakukan efisiensi lain terlebih dahulu. Apakah gaji direksi sudah dipotong? Apakah pengeluaran operasional sudah ditekan? Apakah sudah dilakukan pengurangan jam kerja atau shift?

Jika tiba-tiba Kawan di-PHK dengan alasan "efisiensi" tanpa ada sosialisasi kondisi perusahaan sebelumnya, maka secara etika dan moral hukum, perusahaan telah melangkahi prosedur. Ini adalah argumen pertama yang bisa Kawan gunakan di meja perundingan.

Fase 1: Surat Pemberitahuan (The Notification)

Ini adalah titik krusial yang paling sering disalahpahami. Di era modern ini, masih banyak perusahaan yang memecat karyawan secara lisan. "Mulai besok kamu tidak usah datang, nanti pesangon ditransfer."

Hati-hati, Kawan. Cara itu ilegal.

Menurut Pasal 37 ayat (3), Pengusaha wajib memberikan Surat Pemberitahuan PHK secara tertulis. Ada aturan waktu yang sangat ketat di sini:

  • Surat harus diterima karyawan paling lama 14 hari kerja sebelum tanggal PHK efektif.
  • Khusus untuk karyawan yang masih dalam masa percobaan (probation), waktunya minimal 7 hari kerja.

Apa yang harus ada di surat itu?

Surat itu tidak boleh kosong. Harus memuat alasan PHK (mengapa Kawan diberhentikan?) dan rincian kompensasi (berapa pesangon dan hak lain yang akan diterima?).

💡 Saran Taktis:
Jika Kawan menerima surat ini, jangan langsung tanda tangan persetujuan! Banyak HRD yang menyodorkan dua kertas sekaligus: surat pemberitahuan dan surat persetujuan bersama. Kawan cukup tanda tangan "Tanda Terima Surat" (bukti bahwa surat sudah sampai). Jangan tanda tangan yang isinya "Menyetujui PHK". Tarik napas, bawa pulang suratnya, dan pelajari isinya dengan kepala dingin.

Fase 2: Hak Menolak dan Membuat Surat Balasan

Banyak yang mengira, kalau sudah dapat surat PHK, ya sudah selesai. Padahal, Pasal 39 ayat (1) memberikan Kawan sebuah "pedang" untuk melawan.

Jika Kawan merasa alasan PHK-nya tidak masuk akal (misalnya dituduh melanggar tanpa bukti) atau hitungan pesangonnya tidak sesuai rumus, Kawan berhak menolak.

Kawan punya waktu 7 hari kerja setelah menerima surat pemberitahuan untuk membuat Surat Penolakan. Buatlah surat tertulis, tujukan ke pimpinan perusahaan, dan nyatakan dengan tegas: "Saya menolak PHK ini karena alasan [masukkan alasan] dan menuntut untuk tetap dipekerjakan."

Kenapa harus menolak secara tertulis? Karena dengan adanya surat penolakan, status PHK tersebut berubah menjadi Perselisihan Hubungan Industrial. Selama belum ada putusan hukum yang tetap (inkrah), secara hukum Kawan masih berstatus karyawan sah.

Fase 3: Meja Perundingan (Bipartit)

Karena Kawan menolak, maka hukum mewajibkan kedua belah pihak untuk duduk bersama. Inilah yang disebut Perundingan Bipartit (sesuai Pasal 39 ayat 2).

Jangan bayangkan ini seperti sidang pengadilan yang menyeramkan. Ini adalah pertemuan negosiasi antara Kawan (bisa didampingi pengurus Serikat Pekerja) dan wakil perusahaan.

Di meja ini, Kawan harus cerdas berstrategi:

  1. Dengarkan: Biarkan perusahaan menjelaskan alasan mereka. Catat semuanya.
  2. Bantah dengan Data: Jika alasannya "perusahaan rugi", mintalah bukti audit keuangan (sesuai Pasal 42). Jika alasannya "kinerja buruk", mana surat peringatan (SP) 1, 2, dan 3 sebelumnya? (sesuai Pasal 52). Tanpa bukti, alasan mereka lemah.
  3. Negosiasi Angka: Seringkali, tujuan akhir kita bukan untuk bekerja kembali (karena suasana kerja sudah tidak nyaman), melainkan mendapatkan "sangu" yang layak. Gunakan posisi tawar Kawan untuk menaikkan nilai paket pesangon.

Jika sepakat, dibuatlah Perjanjian Bersama (PB) dan didaftarkan ke PHI. Masalah selesai, Kawan bisa move on dengan dana segar di tangan.

Jika deadlock (tidak sepakat)? Masalah akan bergulir ke Dinas Tenaga Kerja (Mediasi) hingga Pengadilan Hubungan Industrial. Jalannya memang panjang, tapi justru prosedur panjang inilah pelindung kita dari kesewenang-wenangan "pecat di tempat".

Fase 4: Bedah Hak (Menghitung Pesangon)

Jangan mau diputus "cinta" oleh perusahaan tanpa harta gono-gini yang jelas. PP 35/2021 Pasal 40 memerinci hak Kawan menjadi tiga komponen utama. Ini wajib dihafal:

1. Uang Pesangon (UP)

Ini adalah "gaji pokok" perpisahan. Rumusnya berbasis masa kerja.

  • Masa kerja < 1 tahun = 1 bulan upah.
  • Masa kerja 1-2 tahun = 2 bulan upah.
  • ...dan seterusnya hingga maksimal 9 bulan upah untuk masa kerja 8 tahun ke atas.

2. Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK)

Ini adalah bonus loyalitas bagi karyawan senior. Hak ini baru muncul jika Kawan sudah bekerja minimal 3 tahun.

  • 3-6 tahun = 2 bulan upah.
  • 6-9 tahun = 3 bulan upah.
  • ...maksimal 10 bulan upah untuk masa kerja 24 tahun ke atas.

3. Uang Penggantian Hak (UPH)

Ini adalah hak-hak normatif yang diuangkan, seperti:

  • Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
  • Biaya ongkos pulang (untuk pekerja yang direkrut dari luar daerah/pulau).
  • Hal-hal lain yang diatur dalam Perjanjian Kerja atau Peraturan Perusahaan.
Faktor Pengali (The Multiplier Effect)
Nah, ini bagian yang paling sering dimainkan. Total uang yang Kawan terima (UP + UPMK + UPH) bisa dikalikan angka tertentu tergantung ALASAN PHK.
  • Efisiensi karena rugi: Kawan hanya dapat 0,5x Pesangon + 1x UPMK + UPH.
  • Efisiensi untuk mencegah rugi: Kawan dapat 1x Pesangon + 1x UPMK + UPH.
  • Pensiun: Dapat 1,75x Pesangon + 1x UPMK + UPH.
  • Perusahaan Tutup (Force Majeure): Bisa 0,5x atau 0,75x tergantung kondisinya.

Jebakan Batman: "Resign" vs PHK

Ada satu fenomena menyedihkan di lapangan. Seringkali HRD memanggil karyawan dan berkata, "Daripada kamu kami PHK dan nama kamu jelek di catatan, lebih baik kamu mengundurkan diri (resign) saja baik-baik."

⚠️ Peringatan Keras:
Kawan, jangan termakan bujuk rayu ini. Dalam hukum ketenagakerjaan kita, Mengundurkan Diri (Resign) = Tidak Dapat Pesangon.

Jika Kawan resign, Kawan hanya berhak atas Uang Pisah (UPH) yang nilainya jauh lebih kecil. Status PHK memberikan perlindungan pesangon, sedangkan resign adalah tindakan sukarela yang menggugurkan hak pesangon.

Kecuali perusahaan menawarkan "Paket Pensiun Dini Sukarela" (Golden Handshake) dengan nilai yang fantastis di atas aturan undang-undang, jangan pernah menandatangani surat resign di bawah tekanan.

Penutup: Menyiapkan Sekoci Penyelamat

Harus diakui, PP 35/2021 sebagai turunan UU Cipta Kerja memang mengurangi nilai pesangon dibandingkan aturan lama (UU 13/2003). Itu fakta pahit yang harus kita telan. Namun, aturan tetaplah aturan. Lebih baik kita memahaminya secara utuh daripada buta sama sekali dan ditipu mentah-mentah.

Jika badai itu benar-benar datang menimpa Kawan:

  1. Simpan semua dokumen kerja (Kontrak, Slip Gaji, Surat Tugas).
  2. Jangan emosional, gunakan jalur formal tertulis.
  3. Hitung hak Kawan secara mandiri, jangan percaya hitungan HRD begitu saja.
  4. Dan yang paling penting: Jangan berjuang sendirian.

Di sinilah pentingnya berserikat. Menghadapi mesin birokrasi korporasi sendirian itu sunyi dan menakutkan. Tapi bersama kawan-kawan seperjuangan, beban itu akan terasa lebih ringan.

Jaga kesehatan mentalmu, Kawan. Kita mungkin kehilangan pekerjaan, tapi jangan sampai kita kehilangan kewarasan dan masa depan. Kita pulang bukan sebagai pecundang, tapi sebagai petarung yang tahu haknya.

📚 SUMBER HUKUM:
  1. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
PENAFIAN (DISCLAIMER):
Artikel ini disusun untuk tujuan edukasi dan literasi serikat pekerja. Tulisan ini bukan pengganti nasihat hukum profesional. Setiap kasus hubungan industrial memiliki fakta hukum yang unik. Untuk langkah hukum taktis, segera konsultasikan dengan Bidang Advokasi Serikat Pekerja Kawan atau praktisi hukum ketenagakerjaan yang kompeten.

Baca Juga di Frontyer:

Posting Komentar untuk "Menghadapi Badai PHK: Panduan Lengkap Alur, Hak, dan Strategi Negosiasi Sesuai PP 35/2021"